PAS: Background

Background

Korupsi di Indonesia sudah sangat mengakar dan menyatu dengan sistem (sistemik), terjadi di semua jabatan publik, mulai dari level atas dengan jumlah penyelewengan dana yang sangat besar sampai ke level paling bawah dengan jumlah yang relatif kecil. Metode korupsi dilakukan dengan cara yang kasar atau sehalus mungkin. Sedemikian halusnya, sehingga banyak dari pejabat yang tidak merasa dana yang mereka dapatkan tersebut ilegal. Tidaklah mengherankan begitu banyak laporan kekayaan ke KPKPN yang mencantumkan ‘hibah’ sebagai asal kekayaan, yang diindikasikan sebetulnya diberikan sebagai ‘pelicin’ (suap) oleh para pihak yang berkepentingan.
Yang menyedihkan praktek semacam ini sudah menyebar kemana-mana, tidak hanya di pemerintahan, tapi juga untuk semua profesi di kalangan swasta. Hampir semua posisi yang berhubungan dengan vendor menjadi lahan yang basah untuk menerima ‘pelicin’. Bagian IT merasa wajar bila menerima tanda terimakasih dari vendor, HRD tanpa sungkan menerima komisi dari konsultan training. Supplier akan susah menembus bagian pengadaan di pabrik tanpa memberikan persentase. Amplop bagi wartawan menjadi hal yang sangat wajar. Ada kedekatan antara professional di rumah sakit dan pabrik obat yang juga perlu diwaspadai.
Ada seribu alasan pembenaran dari mereka yang terlibat dalam situasi seperti ini. “Kami kan tidak meminta, Vendor/supplier memberikan secara sukarela”; “Ini kan tidak merugikan perusahaan”; “Walau mendapatkan uang, hal itu tidak mempengaruhi objektivitas kami dalam memilih supplier”; “Daripada uangnya diambil oleh karyawan supplier, lebih baik untuk kesejahteraan rekan-rekan disini”. Hampir semua menyatakan bahwa tindakan mereka suatu hal yang umum, sah dan tidak tergolong korupsi.
Pada kenyataannya, di negara manapun hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar norma etika, moral dan juga agama. Menurut Bank Dunia (1997) korupsi adalah menggunakan kewenangan publik untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat individu. Kalau dilihat dari definisi ini, mungkin akan timbul pertanyaan apakah menerima ‘pelicin’ di kalangan swasta termasuk korupsi. Tapi kalau kita melihat dari dampaknya, seperti timbulnya ‘moral hazard’, hilangnya etika professional, meningkatnya kolusi, ekonomi biaya tinggi; akan terlihat jelas bahwa praktek ini sama atau paling tidak merupakan turunan dari korupsi.
Dari sisi jumlah dana memang relatif tidak sebesar korupsi yang terjadi di aparat negara. Akan tetapi bila keadaan seperti ini terus dibiarkan, bangsa kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan KKN dengan segala efek negatifnya. Bagaimana mungkin kita, kalangan professional, meminta pemerintah, anggota DPR, dan DPRD untuk membersihkan diri dari kolusi dan ‘pelicin’, apabila praktek semacam itu juga terus kita lakukan baik secara terbuka ataupun malu-malu.
Sebetulnya masih banyak orang-orang yang tetap berusaha untuk menjaga etika professional dan tidak terjebak praktek manipulatif ini, tapi suara mereka tenggelam dan terabaikan. Untuk itu sudah saatnya ada partisipasi aktif dari kita semua untuk menyatakan dan mengkampanyekan secara tegas dan terbuka bahwa kita anti terhadap kolusi dan ‘pelicin’. “ No more bribe! ”, “ No more ‘amplop’ ! “.

at 1:40 PM  

0 comments:

Post a Comment