PeKA: background

Peduli Karakter Anak (PeKA), Gerakan moral anti ’bullying’

Background
Siapa tidak kenal Raju, bocah dari Langkat yang menjadi berita karena dihukum di pengadilan untuk kasus intimidasi yang dilakukannya terhadap bocah lainnya. Kasus Raju menyebabkan banyak pihak mendesak untuk dilakukannya revisi terhadap UU dan tata cara pengadilan anak.

Sudah berulang-kali kita dikejutkan oleh berita tentang anak SD ataupun SMP yang bunuh diri karena menunggak SPP. Reaksi yang umumnya ada adalah masyarakat menganggap fenomena ini merupakan implikasi dari terjadinya krisis ekonomi. Dan pemerintah pun didesak untuk meningkatkan anggaran pendidikan sehingga biaya sekolah menjadi lebih terjangkau.

Kita juga sudah sering mendengar adanya korban yang berjatuhan akibat proses perploncoan yang terjadi pada penerimaan siswa baru. Yang paling terkenal mungkin adalah kasus yang terjadi di STPDN. Akibat peristiwa tsb biasanya sekolah bersangkutan memecat siswa senior yang terlibat, atau berjanji untuk mengawasi lebih ketat proses penerimaan siswa baru atau bahkan meniadakannya.

Adakah sesuatu yang kurang dari reaksi masyarakat dan pihak terkait terhadap ketiga peristiwa tsb ? Sepintas lalu kelihatannya tidak. Bukankah dengan adanya kasus Raju, semua pihak menjadi akan lebih berhati-hati dalam hal peradilan anak? Bukankah dgn adanya fenomena tunggakan SPP di kalangan siswa tak mampu, masyarakat menjadi tergerak untuk meningkatkan kepekaan sosialnya ?

Akan tetapi kalau kita coba renungkan secara lebih mendalam, ada sebuah benang merah dari ketiga kasus di atas yang luput dari perhatian. Raju mungkin saja tidak perlu menjadi pesakitan di pengadilan apabila gangguan yang dilakukannya berulangkali sebelumnya terhadap adik dari korban, tidak dianggap sebagai kenakalan anak2 biasa oleh pihak sekolah. Mungkin saja tidak terjadi bunuh diri apabila siswa yg menunggak SPP tidak merasa dipermalukan dan disisihkan di hadapan teman sekolahnya. Baik itu karena berulangkali harus menghadapi pemanggilan kepala sekolah maupun perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah terhadapnya. Bisa jadi tidak akan terjadi lagi ’mati konyol’ akibat proses penerimaan siswa baru, apabila kita tidak menganggap praktek perploncoan sebagai hal yang biasa.

Teror berupa kekerasan fisik atau mental, pengucilan, penyisihan, intimidasi, perploncoan yang terjadi pada ketiga kasus diatas sebetulnya adalah contoh klasik dari apa yang biasanya disebut dengan ’Bullying’, yang kerapkali terjadi di lingkungan sekolah, baik itu dari sesama teman, senior bahkan juga guru.

at 3:05 PM  

0 comments:

Post a Comment